Anna Uhibbuki Fillah

Sebuah rasa yang Allah tumbuhkan pada diriku. Allah juga yang memberikan rasa itu. ketika rasa itu ada aku tak bisa berbuat banyak, pada mulanya hanya ingin ku pendam rasa itu. tapi takdir Allah berkata lain. Allah mendekatkan ku. kuharap semua cerita ini akan selalu tertulis dalam perjalanan hidupku dan hidupmu hingga kita bersatu kembali ketempat yang sebenarnya. yaitu SURGA NYA ALLAH. aamiin allahumman aamiin

Senin, 23 Maret 2015

Ayat Al-Qur'an Tentang Cinta

   Menurut hadis Nabi, orang yang sedang jatuh cinta cenderung selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai'ankatsura dzikruhu), kata Nabi, orang juga bisa diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai'an fa huwa `abduhu). Kata Nabi juga, ciri dari cinta sejati ada tiga :
1.    lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain
2.    lebih suka berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan
3.    lebih suka mengikut ikemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/diri sendiri. Bagi orang yang
       telah jatuh cinta kepada Alloh SWT, maka ia lebih suka berbicara dengan Alloh Swt, dengan membaca
       firman Nya, lebih suka bercengkerama dengan Alloh SWT dalam I`tikaf, dan lebih suka mengikuti
       perintah Alloh SWT daripada perintah yang lain.
Dalam Qur'an cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:
1.  Cinta mawaddah     
     Cinta mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu, membara dan "nggemesi". Orang yang memiliki cinta
     jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia
     ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir lain.
2.  Cinta rahmah       
     Cinta rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi.
     Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding
     terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus
     menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya.
     Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertaliandarah, terutama cinta orang tua
     terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur'an , kerabat disebut al arham, dzawi al
     arham ,yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri,yang berasal dari garba kasih
     sayang ibu, disebut rahim (dari kata rahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana
     psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim. Selanjutnya diantara orang-orang yang
     memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber silaturrahim, atau silaturrahmi artinya menyambung
     tali kasih sayang. Suami isteri yang diikat oleh cinta mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia
     lahir batin-dunia akhirat.
3.  Cinta mail     
     Cinta mail adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian
     hingga hal hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur'an disebut dalam
     konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda (an tamilu kulla al mail),
     cenderung mengabaikan kepada yang lama.
4.  Cinta syaghaf     
     Cinta syaghaf adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang
     cinta jenis syaghaf (qadsyaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak
     menyadari apa yang dilakukan. Al Qur'an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana
     cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.
5.  Cinta ra'fah
     Cinta ra’fah adalah rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan
     kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat, membelanya meskipun salah. Al Qur'an
     menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak
     menegakkan hukum Allah, dalam hal ini kasus hukuman bagi pezina (Q/24:2).
6.  Cinta shobwah     
     Cinta shobwah adalah cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa sanggup mengelak. Al
     Qur'an menyebut term ni ketika mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan
     Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan
     Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh, wa illa tashrif `anni kaidahunna ashbu ilaihinna wa akun min
     aljahilin (Q/12:33)
7.  Cinta syauq (rindu)
     Cinta syauq (rindu) term ini bukan dari al Qur'an tetapi dari hadis yang menafsirkan al Qur'an. Dalam surat
     al `Ankabut ayat 5 dikatakan bahwa barang siapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akan tiba. Kalimat
     kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa ma'tsur dari hadis riwayat Ahmad; wa as'aluka ladzzata an
     nadzori ila wajhikawa as syauqa ila liqa'ika, aku mohon dapat merasakan nikmatnya memandang wajah Mu
     dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu. Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat
     al Muhibbin waNuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepadasang kekasih (safar al
     qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah
     wa iltihab naruha fi qalb al muhibbi.
8.  Cinta kulfah     
     Cinta kulfah adalah perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positip meski
     sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada
     pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur'an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang
     kecuali sesuai dengan kemampuannya, layukallifullah nafsan illa wus`aha (Q/2:286)

Senin, 09 Maret 2015

AKIBAT CINTA DUNIA

wahai orang yang ajalnya selalu mengikuti dibelakangnya dan angan-angannya berada paling depan
jangan biarkan perbuatan dosa melumuri tubuhmu terus-menerus
berapa banyak tahun-tahun usiamu yang telah engkau sia-siakan ?
dunia ini tak lebih dari sekedar impian saja. yang paling manis darinya adalah bunga-bunga impian.

wahai orang yang berjalan dengan sisa usianya dan telah melampaui batas.
tangisi perbuatan maksiatmu. sebab engkau mungkin akan terusir.

wahai orang yang usianya telah terampas, usia yang telah berlalu itu takkan pernah kembali
rambut ubanmu telah menyampaikan pesan kepadamu bahwa engkau sedang diincar oleh kamatian,
dan engkau tak akan bisa menghindar.

lisan i'tibar telah memanggilmu dengan ucapan
"hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya." (Al-Insyiqaaq: 6)

dengar lah syair berikut :
"tatkala berlalu umur yang panjang dan menjadi tua, engkau akan meminta dikembalikan yang telah berlalu. Mengapa engkau tak beramal di saat masih ada kesempatan. Dan ubanmu yang putih tak sedih dengan dosa-dosa"

Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits qudsi
"Hai hambaku, tidakkah engkau tahu bahwa Aku menjadikan dunia sebagai negeri penugasan dan ujian, dan Aku tidak mengutamakan pemberian karunia dan kebaikan orang yang bertobat kepada-Ku dari kesalahan-kesalahan dan kemaksiatan-kemaksiatan?. Maka mengapa kalian tidak mendatangi-Ku dan tidak menginginkan karunia-Ku, pahala-Ku yang banyak, tidak takut dengan hukuman dan siksaan-Ku?"

wahai orang yang kelalainnya sungguh besar, mabuknya sangat lamma. renungkan kasih sayang Tuhan dan kebaikan-Nya terhadapmu. Demi Allah, pikullah beban tobat diatas pundakmu. basulah wajahmu dengan tetesan-tetesan air mata. Berselimutlah dengan kain kerendahan diri dan ketundukkan :')

Sabtu, 07 Maret 2015

@Tausiyahku

bagaimana caranya menjelaskan rindu kepada seseorang yang entah dimana saat ini
untukmu yang jauh disana terkadang mata ini iri kepada hati
karena kau ada dihatiku namun tak tampak dimataku

aku tidak memiliki alasan pasti mengapa sampai saat ini masih ingin menunggu
meskipun kau tak pernah meminta ditunggu dan diharapkan

hati ini menyakini bahwa kau ada 
meski entah dibelahan bumi mana

yang kutahu kelak aku akan menyempurnakan hidupku dengamu
disini disisiku

 maka saat hati ku telah mengenal fitrah-Nya
aku akan mencintaimu dengan cara yajg dicintai-Nya
sekalipun kita belum pernah bertemu

mungkin saat ini kita tengah melihat langit yang sama
tersenyum menatap rembulan yang sama
disanalah tatapanku dan tatapanmu bertemu

Jumat, 06 Maret 2015

Makna Muhasabah

Bismillahirrohmanirrohim...

Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata, ‘Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)
Gambaran Umum Hadits
Hadits di atas menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rab-nya. Dan dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan.
Indikasi Kesuksesan dan Kegagalan
Hadits di atas dibuka Rasulullah dengan sabdanya, ‘Orang yang pandai (sukses) adalah yang mengevaluasi dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah kematiannya.’ Ungkapan sederhana ini sungguh menggambarkan sebuah visi yang harus dimiliki seorang muslim. Sebuah visi yang membentang bahkan menembus dimensi kehidupan dunia, yaitu visi hingga kehidupan setelah kematian.
Seorang muslim tidak seharusnya hanya berwawasan sempit dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan untuk jangka waktu sesaat. Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki visi dan planing untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi. Karena orang sukses adalah yang mampu mengatur keinginan singkatnya demi keinginan jangka panjangnya. Orang bertakwa adalah yang ‘rela’ mengorbankan keinginan duniawinya, demi tujuan yang lebih mulia, ‘kebahagian kehidupan ukhrawi.’
Dalam Al-Qur’an, Allah swt. seringkali mengingatkan hamba-hamba-Nya mengenai visi besar ini, di antaranya adalah dalam QS. Al-Hasyr (59): 18–19.
Muhasabah atau evaluasi atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai kunci pertama dari kesuksesan. Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Terdapat hal menarik yang tersirat dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan Rasulullah saw. mengenai kesuksesan. Orang yang pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat. Dan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya sendiri.
Sementara kebalikannya, yaitu kegagalan. Disebut oleh Rasulullah saw, dengan ‘orang yang lemah’, memiliki dua ciri mendasar yaitu orang yang mengikuti hawa nafsunya, membiarkan hidupnya tidak memiliki visi, tidak memiliki planing, tidak ada action dari planingnya, terlebih-lebih memuhasabahi perjalanan hidupnya. Sedangkan yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan, ’berangan-angan terhadap Allah.’ Maksudnya, adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, sebagai berikut: Dia (orang yang lemah), bersamaan dengan lemahnya ketaatannya kepada Allah dan selalu mengikuti hawa nafsunya, tidak pernah meminta ampunan kepada Allah, bahkan selalu berangan-angan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosanya.
Urgensi Muhasabah
Imam Turmudzi setelah meriwayatkan hadits di atas, juga meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi dari muhasabah.
1. Mengenai muhasabah, Umar r.a. mengemukakan:
‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.
Sebagai sahabat yang dikenal ‘kritis’ dan visioner, Umar memahami benar urgensi dari evaluasi ini. Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul akhir kelak. Umar paham bahwa setiap insan akan dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab dari Allah swt.
2. Sementara Maimun bin Mihran r.a. mengatakan:
‘Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya’.
Maimun bin Mihran merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat pada tahun 117 H. Beliaupun sangat memahami urgensi muhasabah, sehingga beliau mengaitkan muhasabah dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi.
3. Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah swt. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah swt. menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” [QS. Maryam (19): 95, Al-Anbiya’ (21): 1].
Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi
Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia menjadi orang yang pandai dan sukses.
1.Aspek Ibadah
Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini. [QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]
2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki
Aspek kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.’ (HR. Turmudzi)
3.Aspek Kehidupan Sosial Keislaman
Aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits:
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah saw. dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya. Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.
4. Aspek Dakwah
Aspek ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut dakwah dalam segala aspek; sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi dari da’wah itu sendiri mengajak orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan ibadah, mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi, banyak istighfar dan taubat dsb.
Tetapi yang cukup urgens dan sangat substansial pada evaluasi aspek dakwah ini yang perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik dalam skala fardi maupun jama’i, merasakan manisnya dan manfaat dari dakwah yang telah sekian lama dilakukan? Jangan sampai sebuah ‘jamaah’ dakwah kehilangan pekerjaannya yang sangat substansial, yaitu dakwah itu sendiri.
Evaluasi pada bidang dakwah ini jika dijabarkan, juga akan menjadi lebih luas. Seperti evaluasi dakwah dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi, evaluasi dakwah dalam bidang dakwah ‘ammah, evaluasi dakwah dalam bidang siyasi, evaluasi dakwah dalam bidang iqtishadi, dsb?
Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai dakwah itu sendiri. Mudah – mudahan ayat ini menjadi bahan evaluasi bagi dakwah yang sama-sama kita lakukan: Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [QS. Yusuf (12): 108]